Cerita Sedarah Sex Cika Saudaraku Yang Sangat Buas
Cerita Sedarah Sex Cika Saudaraku Yang Sangat Buas
Cerita Sedarah Sex Cika Saudaraku Yang Sangat Buas |
DominoQQ-Cerita dewasa-Berambut sebahu dengan warna merah yang disemir dan kulitnya berwarna putih mudah menarik perhatian lawan jenisnya, kami berjumpa lagi di kota jogya yang sekian lama sudah tak lama bertemu, saat itu dia masih kuliah, di perguruan tinggi Jogya saat dia di jogja dia bertempat tinggal di rumahnya budenya.
Aku mengenalnya sejak kanak-kanak. Ia memang gadis yang lincah,
terbuka dan tergolong berotak encer. Setahun setelah aku menikah, isteriku
melahirkan anak kami yang pertama. Hubungan kami rukun dan saling mencintai.
Kami tinggal di rumah sendiri, agak di luar kota.
Sewaktu
melahirkan, isteriku mengalami pendarahan hebat dan harus dirawat di rumah
sakit lebih lama ketimbang anak kami. Sungguh repot harus merawat bayi di
rumah. Karena itu, ibu mertua, ibuku sendiri, tante (ibunya Cika) serta Cika dengan suka
rela bergiliran membantu kerepotan kami. Semua berlalu selamat sampai isteriku
diperbolehkan pulang dan langsung bisa merawat dan menyusui anak kami.
Hari-hari
berikutnya, Cika masih sering datang menengok anak kami yang katanya cantik dan
lucu. Bahkan, heran kenapa, bayi kami sangat lekat dengan Cika. Kalau sedang
rewel, menangis, meronta-ronta kalau digendong Cika menjadi diam dan tertidur
dalam pangkuan atau gendongan Cika.
Sepulang
kuliah, kalau ada waktu, Cika selalu mampir dan membantu isteriku merawat si
kecil. Lama-lama Cika sering tinggal di rumah kami. Isteriku sangat senang atas
bantuan Cika. Tampaknya Cika tulus dan ikhlas membantu kami.
Apalagi
aku harus kerja sepenuh hari dan sering pulang malam. Bertambah besar, bayi
kami berkurang nakalnya. Cika mulai tidak banyak mampirke rumah. Isteriku juga
semakin sehat dan bisa mengurus seluruh keperluannya. Namun suatu malam ketika
aku masih asyik menyelesaikan pekerjaan di kantor, Cika tiba-tiba muncul.
“Ada
apa Na, malam-malam begini.”
“Mas
Danu, tinggal sendiri di kantor?”
“Ya,
Dari mana kamu?”
“Sengaja
kemari.”
Cika
mendekat ke arahku. Berdiri di samping kursi kerja. Cika terlihat mengenakan
rok dan T-shirt warna kesukaannya, pink. Tercium olehku bau parfum khas remaja.
“Ada
apa, Cika?”
“Mas…
aku pengin seperti Mbak Tari.”
“Pengin?
Pengin apanya?” Cika tidak menjawab tetapi malah melangkah kakinya yang putih
mulus hingga berdiri persis di depanku. Dalam sekejap ia sudah duduk di pangkuanku.
“Cika,
apa-apaan kamu ini..” Tanpa menungguku selesai bicara, Cika sudah menyambarkan
bibirnya di bibirku dan menyedotnya kuat-kuat. Bibir yang selama ini hanya
dapat kupandangi dan bayangkan, kini benar-benar mendarat keras.
Kulumanya
penuh nafsu dan nafas halusnya menyeruak. Lidahnya dipermainkan cepat dan
menari lincah dalam rongga mulutku. Ia mencari lidahku dan menyedotnya
kuat-kuat. Aku berusaha melepaskannya namun sandaran kursi menghalangi. Lebih
dari itu, terus terang ada rasa nikmat setelah berbulan-bulan tidak
berhubungan intim dengan isteriku.
Cika
merenggangkan pagutannya dan katanya, “Mas, aku selalu ketagihan Mas. Aku suka
berhubungan dengan laki-laki, bahkan beberapa dosen telah kuajak beginian.
Tidak bercumbu beberapa hari saja rasanya badan panas dingin. Aku belum pernah
menemukan laki-laki yang pas.”
Kuangkat
tubuh Cika dan kududukkan di atas kertas yang masih berserakan di atas meja
kerja. Aku bangkit dari duduk dan melangkah ke arah pintu ruang kerjaku. Aku
mengunci dan menutup kelambu ruangan.
“Na..
Kuakui, aku pun kelaparan. Sudah empat bulan tidak bercumbu dengan Tari.”
“Jadikan
aku Mbak Tari, Mas. Ayo,” kata Cika sambil turun dari meja dan menyongsong
langkahku.
Ia
memelukku kuat-kuat sehingga dadanya yang empuk sepenuhnya menempel di dadaku.
Terasa pula penisku yang telah mengeras berbenturan dengan perut bawah pusarnya
yang lembut. Cika merapatkan pula perutnya ke arah kemaluanku yang masih
terbungkus celana tebal.
– Cika
kembali menyambar leherku dengan kuluman bibirnnya yang merekah bak bibir artis
terkenal. Aliran listrik seakan menjalar ke seluruh tubuh. Aku semula ragu
menyambut keliaran Cika. Namun ketika kenikmatan tiba-tiba menjalar ke seluruh
tubuh, menjadi mubazir belaka melepas kesempatanini.
“Kamu
amat bergairah, Cika..” bisikku lirih di telinganya.
“Hmmm…
iya… Sayang..” balasnya lirih sembari mendesah.
“Aku
sebenarnya menginginkan Mas sejak lama… ukh…” serunya sembari menelan ludahnya.
“Ayo,
Mas… teruskan..”
“Ya
Sayang. Apa yang kamu inginkan dari Mas?”
“Semuanya,”
kata Cika sembari tangannya menjelajah dan mengelus batang kemaluanku. Bibirnya
terus menyapu permukaan kulitku di leher, dada dan tengkuk. Perlahan kusingkap
T-Shirt yang dikenakannya. Kutarik perlahan ke arah atas dan serta merta tangan
Cika telah diangkat tanda meminta T-Shirt langsung dibuka saja.
Kaos
itu kulempar ke atas meja. Kedua jemariku langsung memeluknya kuat-kuat hingga
badan Cika lekat ke dadaku. Kedua bukitnya menempel kembali, terasa hangat dan
lembut. Jemariku mencari kancing BH yang terletak di punggungnya.
Kulepas
perlahan, talinya, kuturunkan melalui tangannya. BH itu akhirnya jatuh ke
lantai dan kini ujung payudaranya menempel lekat ke arahku. Aku melorot
perlahan ke arah dadanya dan kujilati penuh gairah. Permukaan dan tepi
putingnya terasa sedikit asin oleh keringat Cika, namun menambah nikmat aroma
gadis muda.
Tangan
Cika mengusap-usap rambutku dan menggiring kepalaku agar mulutku segera
menyedot putingnya.
“Sedot
kuat-kuat Mas, sedooottt…” bisiknya. Aku memenuhi permintaannya dan Cika tak
kuasa menahan kedua kakinya.
Ia
seakan lemas dan menjatuhkan badan ke lantai berkarpet tebal. Ruang ber-AC itu
terasa makin hangat. “Mas lepas…” katanya sambil telentang di lantai. Cika
meminta aku melepas pakaian. Cika sendiri pun melepas rok dan celana dalamnya.
Aku pun berbuat demikian namun masih kusisakan celana dalam.
Cika
melihat dengan pandangan mata sayu seperti tak sabar menunggu. Segera aku
menyusulnya, tiduran di lantai. Kudekap tubuhnya dari arah samping sembari
kugosokkan telapak tanganku ke arah putingnya. Cika melenguh sedikit kemudian
sedikit memiringkan tubuhnya ke arahku. Sengaja ia segera mengarahkan putingnya
ke mulutku.
“Mas
sedot Mas… teruskan, enak sekali Mas… enak…” Kupenuhi permintaannya sembari
kupijat-pijat pantatnya. Tanganku mulai nakal mencari selangkangan Cika. Rambutnya
tidak terlalu tebal namun datarannya cukup mantap untuk mendaratkan pesawat
“cocorde” milikku.
Kumainkan
jemariku di sana dan Cika tampak sedikit tersentak. “Ukh… khmem.. hsss… terus…
terus,” lenguhnya tak jelas. Sementara sedotan di putingnya kugencarkan, jemari
tanganku bagaikan memetik dawai gitar di pusat kenikmatannya.
Terasa
jemari kanan tengahku telah mencapai gumpalan kecil daging di dinding atas
depan vaginanya, ujungnya kuraba-raba lembut berirama. Lidahku memainkan puting
sembari sesekali menyedot dan menghembusnya. Jemariku memilin klitoris Cika
dengan teknik petik melodi.
Cika
menggelinjang-gelinjang, melenguh-lenguh penuh nikmat. “Mas… Mas… ampun… terus,
ampun… terus ukhhh…” Sebentar kemudian Cika lemas. Namun itu tidak berlangsung
lama karena Cika kembali bernafsu dan berbalik mengambil inisitif.
Tangannya
mencari-cari arah kejantananku. Kudekatkan agar gampang dijangkau, dengan serta
merta Cika menarik celana dalamku. Bersamaan dengan itu melesat keluar pusaka
kesayangan Tari. Akibatnya, memukul ke arah wajah Cika.
“Uh…
Mas… apaan ini,” kata Cika kaget. Tanpa menunggu jawabanku, tangan Cika
langsung meraihnya. Kedua telapak tangannya menggenggam dan mengelus penisku.
“Mas…
ini asli?”
“Asli,
100 persen,” jawabku.
Cika
geleng-geleng kepala. Lalu lidahnya menyambar cepat ke arah permukaan penisku
yang berdiameter 6 cm dan panjang 19 cm itu, sedikit agak bengkok ke kanan. Di
bagian samping kanan terlihat menonjol aliran otot keras.
Bagian
bawah kepalanya, masih tersisa sedikit kulit yang menggelambir. Otot dan
gelambiran kulit itulah yang membuat perempuan bertambah nikmat merasakan
tusukan senjata andalanku.
“Mas,
belum pernah aku melihat penis sebesar dan sepanjang ini.”
“Sekarang
kamu melihatnya, memegangnya dan menikmatinya.”
“Alangkah
bahagianya MBak Tari.”
“Makanya
kamu pengin seperti dia, kan?”
Cika
langsung menarik penisku. “Mas, aku ingin cepat menikmatinya. Masukkan, cepat
masukkan.”
Cika
menelentangkan tubuhnya. Pahanya direntangkannya. Terlihat betapa mulus putih
dan bersih. Diantara bulu halus di selangkangannya, terlihat lubang vagina yang
mungil. Aku telah berada di antara pahanya. Exocet-ku telah siap meluncur. Cika
memandangiku penuh harap.
“Cepat
Mas, cepat..”
“Sabar
Cika. Kamu harus benar-benar terangsang, Sayang…”
Namun
tampaknya Cika tak sabar. Belum pernah kulihat perempuan sekasar Cika. Dia tak
ingin dicumbui dulu sebelum dirasuki penis pasangannya.
“Cepat
Mas…” ajaknya lagi. Kupenuhi permintaannya, kutempelkan ujung penisku di
permukaan lubang vaginanya, kutekan perlahan tapi sungguh amat sulit masuk,
kuangkat kembali namun Cika justru mendorongkan pantatku dengan kedua belah
tangannya. Pantatnya sendiri didorong ke arah atas.
Tak
terhindarkan, batang penisku bagai membentur dinding tebal. Namun Cika
tampaknya ingin main kasar. Aku pun, meski belum terangsang benar, kumasukkan
penisku sekuat dan sekencangnya. Meski perlahan dapat memasukirongga vaginanya,
namun terasa sangat sesak, seret, panas, perih dan sulit. Cika tidak gentar,
malah menyongsongnya penuh gairah.
“Jangan
paksakan, Sayang..” pintaku.
“Terus.
Paksa, siksa aku. Siksa… tusuk aku. Keras… keras jangan takut Mas, terus..” Dan
aku tak bisa menghindar. Kulesakkan keras hingga separuh penisku telah masuk. Cika
menjerit, “Aouwww.. sedikit lagi..”
Dan
aku menekannya kuat-kuat. Bersamaan dengan itu terasa ada yang mengalir dari
dalam vagina Cika, meleleh keluar. Aku melirik, darah… darah segar. Cika diam.
Nafasnya terengah-engah. Matanya memejam.
Aku
menahan penisku tetap menancap. Tidak turun, tidak juga naik. Untuk mengurangi
ketegangannya, kucari ujung puting Cika dengan mulutku. Meski agak membungkuk,
aku dapat mencapainya. Cika sedikit berkurang ketegangannya.
Beberapa
saat kemudian ia memintaku memulai aktivitas. Kugerakkan penisku yang hanya
separuh jalan, turun naik dan Cika mulai tampak menikmatinya. Pergerakan
konstan itu kupertahankan cukup lama. Makin lama tusukanku makin dalam. Cika
pasrah dan tidak sebuas tadi.
Ia
menikmati irama keluar masuk di liang kemaluannya yang mulai basah dan
mengalirkan cairan pelicin. Cika mulai bangkit gairahnya menggelinjang dan
melenguh dan pada akhirnya menjerit lirih,
“Uuuhh..
Mas… uhhh… enaakkkk.. enaaakkk… Terus… aduh… ya ampun enaknya..” Cika melemas
dan terkulai. Kucabut penisku yang masih keras, kubersihkan dengan bajuku. Aku
duduk di samping Cika yang terkulai.
“Cika,
kenapa kamu?”
“Lemas,
Mas. Kamu amat perkasa.”
“Kamu
juga liar.”
Cika
memang sering berhubungan dengan laki-laki. Namun belum ada yang berhasil
menembus keperawanannya karena selaput daranya amat tebal. Namun perkiraanku,
para lelaki akan takluk oleh garangnya Cika mengajak senggama tanpa pemanasan
yang cukup. Gila memang anak itu, cepat panas.
Sejak
kejadian itu, Cika selalu ingin mengulanginya. Namun aku selalu menghindar.
Hanya sekali peristiwa itu kami ulangi di sebuah hotel sepanjang hari. Cika
waktu itu kesetanan dan kuladeni kemauannya dengan segala gaya. Cika mengaku
puas.
Setelah
lulus, Cika menikah dan tinggal di Palembang. Sejak itu tidak ada kabarnya.
Dan, ketika pulang ke Yogya bersama anaknya, aku berjumpa di rumah bude.
“Mas
Danu, mau nyoba lagi?” bisiknya lirih.
Aku
hanya mengangguk.
“Masih
gede juga?” tanyanya menggoda
“Ya,
tambah gede dong.”
Dan
malamnya, aku menyambangi di hotel tempatnya menginap. Pertarungan pun kembali
terjadi dalam posisi sama-sama telah matang.
“Mas
Danu, Mbak Tari sudah bisa dipakai belum?” tanyanya.
“Belum,
dokter melarangnya,” kataku berbohong.
Dan,
Cika pun malam itu mencoba melayaniku hingga kami sama-sama terpuaskan
Post a Comment