Cerita Dewasa Gairah Tante ku yang Sexy
Cerita Dewasa Gairah Tante ku yang Sexy
DominoQQ-Cerita Dewasa-Belum lama ini aku kembali bertemu Lisya (bukan nama sebenarnya). Ia kini sudah berkeluarga dan sejak menikah tinggal di Palembang. Untuk suatu urusan keluarga, ia bersama anaknya yang masih berusia 6 tahun pulang ke Yogya tanpa disertai suaminya.
Lisya masih seperti dulu, kulitnya yang putih, bibirnya yang merah merekah, rambutnya yang lebat tumbuh terjaga selalu di atas bahu. Meski rambutnya agak kemerahan namun karena kulitnya yang putih bersih, selalu saja menarikdipandang, apalagi kalau berada dalam pelukan dan dielus-elus. Perjumpaan di Yogya ini mengingatkan peristiwa sepuluh tahun lalu ketika ia masih kuliah di sebuah perguruan tinggi ternama di Yogya. Selama kuliah, ia tinggal di rumah bude, kakak ibunya yang juga kakak ibuku. Rumahku dan rumah bude agak jauh dan waktu itu kami jarang ketemu Lisya.
Cerita Dewasa Gairah Tante ku yang Sexy |
DominoQQ-Cerita Dewasa-Belum lama ini aku kembali bertemu Lisya (bukan nama sebenarnya). Ia kini sudah berkeluarga dan sejak menikah tinggal di Palembang. Untuk suatu urusan keluarga, ia bersama anaknya yang masih berusia 6 tahun pulang ke Yogya tanpa disertai suaminya.
Lisya masih seperti dulu, kulitnya yang putih, bibirnya yang merah merekah, rambutnya yang lebat tumbuh terjaga selalu di atas bahu. Meski rambutnya agak kemerahan namun karena kulitnya yang putih bersih, selalu saja menarikdipandang, apalagi kalau berada dalam pelukan dan dielus-elus. Perjumpaan di Yogya ini mengingatkan peristiwa sepuluh tahun lalu ketika ia masih kuliah di sebuah perguruan tinggi ternama di Yogya. Selama kuliah, ia tinggal di rumah bude, kakak ibunya yang juga kakak ibuku. Rumahku dan rumah bude agak jauh dan waktu itu kami jarang ketemu Lisya.
Aku
mengenalnya sejak kanak-kanak. Ia memang gadis yang lincah, terbuka dan
tergolong berotak encer. Setahun setelah aku menikah, isteriku melahirkan anak
kami yang pertama. Hubungan kami rukun dan saling mencintai. Kami tinggal di
rumah sendiri, agak di luar kota. Sewaktu melahirkan, isteriku mengalami
pendarahan hebat dan harus dirawat di rumah sakit lebih lama ketimbang anak
kami. Sungguh repot harus merawat bayi di rumah. Karena itu, ibu mertua, ibuku
sendiri, tante (ibunya Lisya) serta Lisya dengan suka rela bergiliran membantu
kerepotan kami. Semua berlalu selamat sampai isteriku diperbolehkan pulang dan
langsung bisa merawat dan menyusui anak kami.
Hari-hari
berikutnya, Lisya masih sering datang menengok anak kami yang katanya cantik
dan lucu. Bahkan, heran kenapa, bayi kami sangat lekat dengan Lisya. Kalau
sedang rewel, menangis, meronta-ronta kalau digendong Lisya menjadi diam dan
tertidur dalam pangkuan atau gendongan Lisya. Sepulang kuliah, kalau ada waktu,
Lisya selalu mampir dan membantu isteriku merawat si kecil. Lama-lama Lisya
sering tinggal di rumah kami. Isteriku sangat senang atas bantuan Lisya.
Tampaknya Lisya tulus dan ikhlas membantu kami. Apalagi aku harus kerja sepenuh
hari dan sering pulang malam. Bertambah besar, bayi kami berkurang nakalnya. Lisya
mulai tidak banyak mampirke rumah. Isteriku juga semakin sehat dan bisa
mengurus seluruh keperluannya. Namun suatu malam ketika aku masih asyik
menyelesaikan pekerjaan di kantor, Lisya tiba-tiba muncul.
“Ada
apa Na, malam-malam begini.”
“Mas Danu, tinggal sendiri di kantor?”
“Ya, Dari mana kamu?”
“Sengaja kemari.”
Lisya mendekat ke arahku. Berdiri di samping kursi kerja. Lisya terlihat mengenakan rok dan T-shirt warna kesukaannya, pink. Tercium olehku bau parfum khas remaja.
“Mas Danu, tinggal sendiri di kantor?”
“Ya, Dari mana kamu?”
“Sengaja kemari.”
Lisya mendekat ke arahku. Berdiri di samping kursi kerja. Lisya terlihat mengenakan rok dan T-shirt warna kesukaannya, pink. Tercium olehku bau parfum khas remaja.
“Ada
apa, Lisya?”
“Mas.. aku pengin seperti Mbak Tari.”
“Pengin? Pengin apanya?” Lisya tidak menjawab tetapi malah melangkah kakinya yang putih mulus hingga berdiri persis di depanku. Dalam sekejap ia sudah duduk di pangkuanku.
“Lisya, apa-apaan kamu ini..” Tanpa menungguku selesai bicara, Lisya sudah menyambarkan bibirnya di bibirku dan menyedotnya kuat-kuat. Bibir yang selama ini hanya dapat kupandangi dan bayangkan, kini benar-benar mendarat keras. Kulumanya penuh nafsu dan nafas halusnya menyeruak. Lidahnya dipermainkan cepat dan menari lincah dalam rongga mulutku. Ia mencari lidahku dan menyedotnya kuat-kuat. Aku berusaha melepaskannya namun sandaran kursi menghalangi. Lebih dari itu, terus terang ada rasa nikmat setelah berbulan-bulan tidak berhubungan intim dengan isteriku. Lisya merenggangkan pagutannya dan katanya, “Mas, aku selalu ketagihan Mas. Aku suka berhubungan dengan laki-laki, bahkan beberapa dosen telah kuajak beginian. Tidak bercumbu beberapa hari saja rasanya badan panas dingin. Aku belum pernah menemukan laki-laki yang pas.”
“Mas.. aku pengin seperti Mbak Tari.”
“Pengin? Pengin apanya?” Lisya tidak menjawab tetapi malah melangkah kakinya yang putih mulus hingga berdiri persis di depanku. Dalam sekejap ia sudah duduk di pangkuanku.
“Lisya, apa-apaan kamu ini..” Tanpa menungguku selesai bicara, Lisya sudah menyambarkan bibirnya di bibirku dan menyedotnya kuat-kuat. Bibir yang selama ini hanya dapat kupandangi dan bayangkan, kini benar-benar mendarat keras. Kulumanya penuh nafsu dan nafas halusnya menyeruak. Lidahnya dipermainkan cepat dan menari lincah dalam rongga mulutku. Ia mencari lidahku dan menyedotnya kuat-kuat. Aku berusaha melepaskannya namun sandaran kursi menghalangi. Lebih dari itu, terus terang ada rasa nikmat setelah berbulan-bulan tidak berhubungan intim dengan isteriku. Lisya merenggangkan pagutannya dan katanya, “Mas, aku selalu ketagihan Mas. Aku suka berhubungan dengan laki-laki, bahkan beberapa dosen telah kuajak beginian. Tidak bercumbu beberapa hari saja rasanya badan panas dingin. Aku belum pernah menemukan laki-laki yang pas.”
Kuangkat
tubuh Lisya dan kududukkan di atas kertas yang masih berserakan di atas meja
kerja. Aku bangkit dari duduk dan melangkah ke arah pintu ruang kerjaku. Aku
mengunci dan menutup kelambu ruangan.
“Na.. Kuakui, aku pun kelaparan. Sudah empat bulan tidak bercumbu dengan Tari.”
“Jadikan aku Mbak Tari, Mas. Ayo,” kata Lisya sambil turun dari meja dan menyongsong langkahku.
Ia memelukku kuat-kuat sehingga dadanya yang empuk sepenuhnya menempel di dadaku. Terasa pula penisku yang telah mengeras berbenturan dengan perut bawah pusarnya yang lembut. Lisya merapatkan pula perutnya ke arah kemaluanku yang masih terbungkus celana tebal. Lisya kembali menyambar leherku dengan kuluman bibirnnya yang merekah bak bibir artis terkenal. Aliran listrik seakan menjalar ke seluruh tubuh. Aku semula ragu menyambut keliaran Lisya. Namun ketika kenikmatan tiba-tiba menjalar ke seluruh tubuh, menjadi mubazir belaka melepas kesempatanini.
“Na.. Kuakui, aku pun kelaparan. Sudah empat bulan tidak bercumbu dengan Tari.”
“Jadikan aku Mbak Tari, Mas. Ayo,” kata Lisya sambil turun dari meja dan menyongsong langkahku.
Ia memelukku kuat-kuat sehingga dadanya yang empuk sepenuhnya menempel di dadaku. Terasa pula penisku yang telah mengeras berbenturan dengan perut bawah pusarnya yang lembut. Lisya merapatkan pula perutnya ke arah kemaluanku yang masih terbungkus celana tebal. Lisya kembali menyambar leherku dengan kuluman bibirnnya yang merekah bak bibir artis terkenal. Aliran listrik seakan menjalar ke seluruh tubuh. Aku semula ragu menyambut keliaran Lisya. Namun ketika kenikmatan tiba-tiba menjalar ke seluruh tubuh, menjadi mubazir belaka melepas kesempatanini.
“Kamu
amat bergairah, Lisya..” bisikku lirih di telinganya.
“Hmm.. iya.. Sayang..” balasnya lirih sembari mendesah.
“Aku sebenarnya menginginkan Mas sejak lama.. ukh..” serunya sembari menelan ludahnya.
“Ayo, Mas.. teruskan..”
“Ya Sayang. Apa yang kamu inginkan dari Mas?”
“Semuanya,” kata Lisya sembari tangannya menjelajah dan mengelus batang kemaluanku. Bibirnya terus menyapu permukaan kulitku di leher, dada dan tengkuk. Perlahan kusingkap T-Shirt yang dikenakannya. Kutarik perlahan ke arah atas dan serta merta tangan Lisya telah diangkat tanda meminta T-Shirt langsung dibuka saja. Kaos itu kulempar ke atas meja. Kedua jemariku langsung memeluknya kuat-kuat hingga badan Lisya lekat ke dadaku. Kedua bukitnya menempel kembali, terasa hangat dan lembut. Jemariku mencari kancing BH yang terletak di punggungnya. Kulepas perlahan, talinya, kuturunkan melalui tangannya. BH itu akhirnya jatuh ke lantai dan kini ujung payudaranya menempel lekat ke arahku. Aku melorot perlahan ke arah dadanya dan kujilati penuh gairah. Permukaan dan tepi putingnya terasa sedikit asin oleh keringat Lisya, namun menambah nikmat aroma gadis muda.
“Hmm.. iya.. Sayang..” balasnya lirih sembari mendesah.
“Aku sebenarnya menginginkan Mas sejak lama.. ukh..” serunya sembari menelan ludahnya.
“Ayo, Mas.. teruskan..”
“Ya Sayang. Apa yang kamu inginkan dari Mas?”
“Semuanya,” kata Lisya sembari tangannya menjelajah dan mengelus batang kemaluanku. Bibirnya terus menyapu permukaan kulitku di leher, dada dan tengkuk. Perlahan kusingkap T-Shirt yang dikenakannya. Kutarik perlahan ke arah atas dan serta merta tangan Lisya telah diangkat tanda meminta T-Shirt langsung dibuka saja. Kaos itu kulempar ke atas meja. Kedua jemariku langsung memeluknya kuat-kuat hingga badan Lisya lekat ke dadaku. Kedua bukitnya menempel kembali, terasa hangat dan lembut. Jemariku mencari kancing BH yang terletak di punggungnya. Kulepas perlahan, talinya, kuturunkan melalui tangannya. BH itu akhirnya jatuh ke lantai dan kini ujung payudaranya menempel lekat ke arahku. Aku melorot perlahan ke arah dadanya dan kujilati penuh gairah. Permukaan dan tepi putingnya terasa sedikit asin oleh keringat Lisya, namun menambah nikmat aroma gadis muda.
Tangan
Lisya mengusap-usap rambutku dan menggiring kepalaku agar mulutku segera
menyedot putingnya. “Sedot kuat-kuat Mas, sedoott..” bisiknya. Aku memenuhi
permintaannya dan Lisya tak kuasa menahan kedua kakinya. Ia seakan lemas dan
menjatuhkan badan ke lantai berkarpet tebal. Ruang ber-AC itu terasa makin
hangat. “Mas lepas..” katanya sambil telentang di lantai. Lisya meminta aku
melepas pakaian. Lisya sendiri pun melepas rok dan celana dalamnya. Aku pun
berbuat demikian namun masih kusisakan celana dalam. Lisya melihat dengan
pandangan mata sayu seperti tak sabar menunggu. Segera aku menyusulnya, tiduran
di lantai. Kudekap tubuhnya dari arah samping sembari kugosokkan telapak
tanganku ke arah putingnya. Lisya melenguh sedikit kemudian sedikit memiringkan
tubuhnya ke arahku. Sengaja ia segera mengarahkan putingnya ke mulutku.
“Mas
sedot Mas.. teruskan, enak sekali Mas.. enak..” Kupenuhi permintaannya sembari
kupijat-pijat pantatnya. Tanganku mulai nakal mencari selangkangan Lisya.
Rambutnya tidak terlalu tebal namun datarannya cukup mantap untuk mendaratkan
pesawat “cocorde” milikku. Kumainkan jemariku di sana dan Lisya tampak sedikit
tersentak. “Ukh.. khmem.. hss.. terus.. terus,” lenguhnya tak jelas. Sementara
sedotan di putingnya kugencarkan, jemari tanganku bagaikan memetik dawai gitar
di pusat kenikmatannya. Terasa jemari kanan tengahku telah mencapai gumpalan
kecil daging di dinding atas depan vaginanya, ujungnya kuraba-raba lembut
berirama. Lidahku memainkan puting sembari sesekali menyedot dan menghembusnya.
Jemariku memilin klitoris Lisya dengan teknik petik melodi.
Lisya
menggelinjang-gelinjang, melenguh-lenguh penuh nikmat. “Mas.. Mas.. ampun..
terus, ampun.. terus ukhh..” Sebentar kemudian Lisya lemas. Namun itu tidak
berlangsung lama karena Lisya kembali bernafsu dan berbalik mengambil inisitif.
Tangannya mencari-cari arah kejantananku. Kudekatkan agar gampang dijangkau,
dengan serta merta Lisya menarik celana dalamku. Bersamaan dengan itu melesat
keluar pusaka kesayangan Tari. Akibatnya, memukul ke arah wajah Lisya. “Uh..
Mas.. apaan ini,” kata Lisya kaget. Tanpa menunggu jawabanku, tangan Lisya
langsung meraihnya. Kedua telapak tangannya menggenggam dan mengelus penisku.
“Mas..
ini asli?”
“Asli, 100 persen,” jawabku.
Lisya geleng-geleng kepala. Lalu lidahnya menyambar cepat ke arah permukaan penisku yang berdiameter 6 cm dan panjang 19 cm itu, sedikit agak bengkok ke kanan. Di bagian samping kanan terlihat menonjol aliran otot keras. Bagian bawah kepalanya, masih tersisa sedikit kulit yang menggelambir. Otot dan gelambiran kulit itulah yang membuat perempuan bertambah nikmat merasakan tusukan senjata andalanku.
“Asli, 100 persen,” jawabku.
Lisya geleng-geleng kepala. Lalu lidahnya menyambar cepat ke arah permukaan penisku yang berdiameter 6 cm dan panjang 19 cm itu, sedikit agak bengkok ke kanan. Di bagian samping kanan terlihat menonjol aliran otot keras. Bagian bawah kepalanya, masih tersisa sedikit kulit yang menggelambir. Otot dan gelambiran kulit itulah yang membuat perempuan bertambah nikmat merasakan tusukan senjata andalanku.
“Mas,
belum pernah aku melihat penis sebesar dan sepanjang ini.”
“Sekarang kamu melihatnya, memegangnya dan menikmatinya.”
“Alangkah bahagianya MBak Tari.”
“Makanya kamu pengin seperti dia, kan?”
Lisya langsung menarik penisku. “Mas, aku ingin cepat menikmatinya. Masukkan, cepat masukkan.”
Lisya menelentangkan tubuhnya. Pahanya direntangkannya. Terlihat betapa mulus putih dan bersih. Diantara bulu halus di selangkangannya, terlihat lubang vagina yang mungil. Aku telah berada di antara pahanya. Exocet-ku telah siap meluncur. Lisya memandangiku penuh harap.
“Sekarang kamu melihatnya, memegangnya dan menikmatinya.”
“Alangkah bahagianya MBak Tari.”
“Makanya kamu pengin seperti dia, kan?”
Lisya langsung menarik penisku. “Mas, aku ingin cepat menikmatinya. Masukkan, cepat masukkan.”
Lisya menelentangkan tubuhnya. Pahanya direntangkannya. Terlihat betapa mulus putih dan bersih. Diantara bulu halus di selangkangannya, terlihat lubang vagina yang mungil. Aku telah berada di antara pahanya. Exocet-ku telah siap meluncur. Lisya memandangiku penuh harap.
“Cepat
Mas, cepat..”
“Sabar Lisya. Kamu harus benar-benar terangsang, Sayang..”
Namun tampaknya Lisya tak sabar. Belum pernah kulihat perempuan sekasar Lisya. Dia tak ingin dicumbui dulu sebelum dirasuki penis pasangannya. “Cepat Mas..” ajaknya lagi. Kupenuhi permintaannya, kutempelkan ujung penisku di permukaan lubang vaginanya, kutekan perlahan tapi sungguh amat sulit masuk, kuangkat kembali namun Lisya justru mendorongkan pantatku dengan kedua belah tangannya. Pantatnya sendiri didorong ke arah atas. Tak terhindarkan, batang penisku bagai membentur dinding tebal. Namun Lisya tampaknya ingin main kasar. Aku pun, meski belum terangsang benar, kumasukkan penisku sekuat dan sekencangnya. Meski perlahan dapat memasukirongga vaginanya, namun terasa sangat sesak, seret, panas, perih dan sulit. Lisya tidak gentar, malah menyongsongnya penuh gairah.
“Sabar Lisya. Kamu harus benar-benar terangsang, Sayang..”
Namun tampaknya Lisya tak sabar. Belum pernah kulihat perempuan sekasar Lisya. Dia tak ingin dicumbui dulu sebelum dirasuki penis pasangannya. “Cepat Mas..” ajaknya lagi. Kupenuhi permintaannya, kutempelkan ujung penisku di permukaan lubang vaginanya, kutekan perlahan tapi sungguh amat sulit masuk, kuangkat kembali namun Lisya justru mendorongkan pantatku dengan kedua belah tangannya. Pantatnya sendiri didorong ke arah atas. Tak terhindarkan, batang penisku bagai membentur dinding tebal. Namun Lisya tampaknya ingin main kasar. Aku pun, meski belum terangsang benar, kumasukkan penisku sekuat dan sekencangnya. Meski perlahan dapat memasukirongga vaginanya, namun terasa sangat sesak, seret, panas, perih dan sulit. Lisya tidak gentar, malah menyongsongnya penuh gairah.
“Jangan
paksakan, Sayang..” pintaku.
“Terus. Paksa, siksa aku. Siksa.. tusuk aku. Keras.. keras jangan takut Mas, terus..” Dan aku tak bisa menghindar. Kulesakkan keras hingga separuh penisku telah masuk. Lisya menjerit, “Aouwww.. sedikit lagi..” Dan aku menekannya kuat-kuat. Bersamaan dengan itu terasa ada yang mengalir dari dalam vagina Lisya, meleleh keluar. Aku melirik, darah.. darah segar. Lisya diam. Nafasnya terengah-engah. Matanya memejam. Aku menahan penisku tetap menancap. Tidak turun, tidak juga naik. Untuk mengurangi ketegangannya, kucari ujung puting Lisya dengan mulutku. Meski agak membungkuk, aku dapat mencapainya. Lisya sedikit berkurang ketegangannya.
“Terus. Paksa, siksa aku. Siksa.. tusuk aku. Keras.. keras jangan takut Mas, terus..” Dan aku tak bisa menghindar. Kulesakkan keras hingga separuh penisku telah masuk. Lisya menjerit, “Aouwww.. sedikit lagi..” Dan aku menekannya kuat-kuat. Bersamaan dengan itu terasa ada yang mengalir dari dalam vagina Lisya, meleleh keluar. Aku melirik, darah.. darah segar. Lisya diam. Nafasnya terengah-engah. Matanya memejam. Aku menahan penisku tetap menancap. Tidak turun, tidak juga naik. Untuk mengurangi ketegangannya, kucari ujung puting Lisya dengan mulutku. Meski agak membungkuk, aku dapat mencapainya. Lisya sedikit berkurang ketegangannya.
Beberapa
saat kemudian ia memintaku memulai aktivitas. Kugerakkan penisku yang hanya
separuh jalan, turun naik dan Lisya mulai tampak menikmatinya. Pergerakan
konstan itu kupertahankan cukup lama. Makin lama tusukanku makin dalam. Lisya
pasrah dan tidak sebuas tadi. Ia menikmati irama keluar masuk di liang kemaluannya
yang mulai basah dan mengalirkan cairan pelicin. Lisya mulai bangkit gairahnya
menggelinjang dan melenguh dan pada akhirnya menjerit lirih, “Uuuhh.. Mas..
uhh.. enaakk.. enaakk.. Terus.. aduh.. ya ampun enaknya..” Lisya melemas dan
terkulai. Kucabut penisku yang masih keras, kubersihkan dengan bajuku. Aku
duduk di samping Lisya yang terkulai.
“Lisya,
kenapa kamu?”
“Lemas, Mas. Kamu amat perkasa.”
“Kamu juga liar.”
“Lemas, Mas. Kamu amat perkasa.”
“Kamu juga liar.”
Lisya
memang sering berhubungan dengan laki-laki. Namun belum ada yang berhasil
menembus keperawanannya karena selaput daranya amat tebal. Namun perkiraanku,
para lelaki akan takluk oleh garangnya Lisya mengajak senggama tanpa pemanasan
yang cukup. Gila memang anak itu, cepat panas.
Sejak
kejadian itu, Lisya selalu ingin mengulanginya. Namun aku selalu menghindar.
Hanya sekali peristiwa itu kami ulangi di sebuah hotel sepanjang hari. Lisya
waktu itu kesetanan dan kuladeni kemauannya dengan segala gaya. Lisya mengaku
puas.
Setelah
lulus, Lisya menikah dan tinggal di Palembang. Sejak itu tidak ada kabarnya.
Dan, ketika pulang ke Yogya bersama anaknya, aku berjumpa di rumah bude.
“Mas Danu, mau nyoba lagi?” bisiknya lirih.
Aku hanya mengangguk.
“Masih gede juga?” tanyanya menggoda.
“Ya, tambah gede dong.”
Dan malamnya, aku menyambangi di hotel tempatnya menginap. Pertarungan pun kembali terjadi dalam posisi sama-sama telah matang.
“Mas Danu, Mbak Tari sudah bisa dipakai belum?” tanyanya.
“Belum, dokter melarangnya,” kataku berbohong.
Dan, Lisya pun malam itu mencoba melayaniku hingga kami sama-sama terpuaskan
“Mas Danu, mau nyoba lagi?” bisiknya lirih.
Aku hanya mengangguk.
“Masih gede juga?” tanyanya menggoda.
“Ya, tambah gede dong.”
Dan malamnya, aku menyambangi di hotel tempatnya menginap. Pertarungan pun kembali terjadi dalam posisi sama-sama telah matang.
“Mas Danu, Mbak Tari sudah bisa dipakai belum?” tanyanya.
“Belum, dokter melarangnya,” kataku berbohong.
Dan, Lisya pun malam itu mencoba melayaniku hingga kami sama-sama terpuaskan
Related Posts
Cerita Dewasa Tante montok
???? " ? www,sahabatpk,com ? " ????
ReplyDelete====================================
DAFTARKAN DIRI ANDA SEKRANG JUGA
ROLLINGAN 0.5%
REFERRAL 15%
------------------------------------**
Layanan Livechat 24 jam dengan CS yang Responsive, Ramah dan Profesional
Rasakan Sensasi Bermain SAKONG online hanya disini
---------------------------------------**
MAINKAN SEKARANG JUGA
DAFTAR >> DEPOSIT >> MAIN >> WITHDRAW
#AgenBandarQ #AgenSakong #Agenjudionline #Agencapsa #judionline #carimodal #AduQ #Capsasusun #AgenPoker #Bandar66